BREAKING NEWS

Ketua PN Jakarta Selatan Jadi Tersangka Suap Ekspor CPO, Libatkan Perusahaan Raksasa Sawit

Ketua PN Jakarta Selatan Jadi Tersangka Suap Ekspor CPO, Libatkan Perusahaan Raksasa Sawit
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, menyampaikan keterangan pers di Gedung Kartika, Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (26/2/2025).

HarianJawa.comDunia peradilan Indonesia kembali diguncang oleh kasus besar. Seorang pejabat tinggi pengadilan yang seharusnya menjadi simbol keadilan justru terjerat kasus korupsi. Kali ini, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus suap ekspor crude palm oil (CPO).

Penetapan tersangka ini tidak hanya memicu keprihatinan publik, tapi juga menyoroti dugaan kuat adanya praktik mafia peradilan yang masih beroperasi dalam sistem hukum Indonesia. Publik mempertanyakan integritas lembaga peradilan ketika seorang ketuanya justru diduga menerima gratifikasi dari korporasi besar.

Kasus ini menjadi sangat penting karena melibatkan tiga raksasa industri kelapa sawit di Indonesia—Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Ketiganya sebelumnya tersandung perkara pemberian fasilitas ekspor CPO yang berujung pada pembebasan dari semua tuntutan. Di balik keputusan itu, kini terkuak indikasi kuat adanya praktik suap.

Ditangkap Bersama Tiga Tersangka Lain

Jakarta, Sabtu malam (12/4/2025) — Kejaksaan Agung resmi menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap ekspor CPO. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, menyatakan bahwa Kejagung telah mengantongi cukup bukti keterlibatan para tersangka dalam tindak pidana korupsi.

Selain Muhammad Arif Nuryanta, tiga tersangka lainnya adalah Panitera Muda Perdata Jakarta Utara berinisial WG, kuasa hukum korporasi bernama Marcella Santoso, dan seorang advokat berinisial AR. Mereka diduga bekerja sama untuk mengatur putusan perkara yang sedang berjalan di pengadilan.

Tindakan ini diduga berkaitan langsung dengan pembebasan tiga korporasi besar yang sedang menghadapi tuntutan hukum atas pemberian fasilitas ekspor CPO. Putusan yang dikeluarkan majelis hakim memicu kecurigaan karena dinilai ganjil dan tidak mencerminkan semangat pemberantasan korupsi.

Pembebasan Tiga Korporasi dan Amar Putusan Janggal

Berdasarkan data dari laman resmi Mahkamah Agung, ketiga perusahaan sawit—Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group—pada 19 Maret 2025, dibebaskan dari semua tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Majelis hakim menyatakan bahwa walau terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tindakan tersebut tidak dianggap sebagai tindak pidana.

Keputusan ini menimbulkan tanda tanya besar, terutama di kalangan pengamat hukum. Padahal sebelumnya, JPU menuntut masing-masing korporasi dengan denda dan uang pengganti dalam jumlah fantastis.

Putusan tersebut kini menjadi salah satu bukti utama yang memperkuat dugaan adanya praktik gratifikasi dan rekayasa dalam penanganan perkara, yang melibatkan oknum pengadilan dan pihak eksternal.

Rincian Tuntutan Miliaran Rupiah

Sebelum dibebaskan, masing-masing terdakwa korporasi menghadapi tuntutan berat dari JPU:

  • Wilmar Group dituntut membayar denda Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 11,88 triliun. Bila tidak dibayarkan, aset milik Tenang Parulian selaku Direktur dapat disita dan dilelang, disertai ancaman penjara 19 tahun.
  • Permata Hijau Group dituntut membayar denda Rp 1 miliar serta uang pengganti sekitar Rp 937 miliar. Bila tidak dibayar, harta David Virgo selaku pengendali korporasi dapat disita, dengan hukuman penjara 12 bulan.
  • Musim Mas Group dituntut membayar denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 4,89 triliun. Jika tidak dipenuhi, aset milik Ir. Gunawan Siregar selaku Direktur Utama akan disita dengan ancaman 15 tahun penjara.

Dijerat dengan UU Tipikor

Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001. Pasal tersebut menyasar pelaku korupsi yang merugikan keuangan negara dan menerima suap dalam proses hukum.

Penetapan pasal ini menunjukkan keseriusan Kejaksaan Agung dalam membongkar praktik suap yang telah mencoreng institusi hukum, termasuk peradilan yang seharusnya menjadi garda terakhir pencari keadilan.

Publik Minta Transparansi Proses Hukum

Berbagai pihak, termasuk aktivis antikorupsi dan pengamat hukum, mendesak agar proses hukum dilakukan secara terbuka dan akuntabel. Mereka menilai kasus ini bukan sekadar persoalan individu, melainkan menggambarkan bobroknya sistem hukum jika dibiarkan berlarut-larut.

Dengan adanya bukti kuat dan keterlibatan banyak pihak, publik menantikan langkah tegas Kejagung dalam menuntaskan perkara ini hingga ke akar.

Kejagung: Tidak Ada Ampun untuk Mafia Peradilan

Jampidsus menegaskan bahwa institusinya tidak akan mentolerir tindakan penyalahgunaan wewenang dan suap di lingkungan peradilan. Kejagung berkomitmen untuk membongkar jaringan mafia peradilan yang mencederai keadilan dan mempermalukan sistem hukum nasional.

Kasus ini diharapkan bisa menjadi momentum reformasi dan pembersihan menyeluruh di tubuh lembaga peradilan, demi mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Baca Juga:

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar